
Perdebatan Terkait Penolakan Pembayaran Tunai di Jakarta
Beberapa hari terakhir, media sosial ramai dibicarakan mengenai penolakan gerai Roti'O di Jakarta terhadap pembayaran tunai dalam transaksi yang dilakukan oleh seorang lansia. Perdebatan ini bermula dari video pendek yang diunggah di akun TikTok @Arlius_Zebua pada Jumat, 19 Desember 2025. Dalam unggahan tersebut, tampak seorang laki-laki memprotes kebijakan Roti'O yang menolak pembayaran tunai seorang nenek yang ingin membeli roti.
".... Makanya aku bilang, cash itu harus kalian terima, masa harus QRIS. Nenek-nenek itu kan nggak ada QRIS-nya, gimana?" teriak pria tersebut. Sebenarnya peristiwa seperti ini kerap kali terjadi, bahkan saya sendiri pernah mengalaminya secara langsung di sebuah cafe di Jakarta beberapa waktu lalu. Saya ditolak ketika hendak membayar kopi dengan uang tunai. "Cashless only, pak," ujar sang kasir. Artinya, mereka hanya menerima pembayaran melalui QRIS, atau kanal pembayaran non-tunai lainnya, seperti kartu debit atau kartu kredit.
Bagi saya fenomena seperti ini cukup aneh, dan lebih anehnya lagi kejadian ini terus berulang. Saya jadi membatin "Apakah pembayaran tunai dengan uang resmi keluaran Negara bernama Rupiah itu sudah tak berlaku lagi di Indonesia?"
Landasan Hukum dan Euforia Digitalisasi
Menurut Pasal 33 Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, setiap orang atau institusi dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai alat pembayaran di seluruh wilayah NKRI, kecuali karena ada keraguan atas keaslian uang Rupiah tersebut. Dengan dasar aturan itu, sejatinya setiap pihak yang menolak pembayaran tunai dengan menggunakan Rupiah potensial terkena hukuman Pidana. Namun, mengapa penolakan pembayaran Rupian tunai terus terjadi?
Pertama, mungkin otoritas berwenang dalam hal ini Bank Indonesia, belum mau bertindak tegas, terutama di sisi law enforcement-nya. Selain itu, dalam pandangan saya, kondisi ini bisa terjadi lantaran dorongan digitalisasi sistem pembayaran disikapi secara berlebihan oleh para pelaku usaha. Mereka terbuai berbagai keunggulan dari sistem pembayaran digital yang belakangan memang menunjukkan peningkatan penggunaan yang signifikan.
Menurut data terbaru dari Bank Indonesia, jumlah pengguna QRIS saja, di luar kartu debit dan kartu kredit, per Oktober 2025 sudah mencapai 58 juta pengguna, dengan nilai transaksi sebesar Rp1.900 triliun. Volumenya sebanyak 10,33 miliar transaksi, yang dilayani oleh 41 juta merchant. Dari volume transaksi total sebesar itu, 93 persennya merupakan transaksi yang dilakukan oleh UMKM.
Keunggulan Sistem Pembayaran Digital
Salah satu alasan utama tingginya penggunaan sistem pembayaran digital adalah efisiensi. Merchant tak perlu lagi repot menghitung uang tunai, menyortir pecahan, atau khawatir kekurangan uang kembalian. Semua tercatat otomatis dan tersimpan rapi di sistem, memudahkan pencatatan keuangan dan rekonsiliasi di akhir hari. Waktu yang dihemat bisa dialokasikan untuk melayani lebih banyak pelanggan atau fokus pada pengembangan usaha.
Selain itu, sistem pembayaran digital juga mengurangi risiko kehilangan dan pencurian. Uang tunai rentan terhadap human error, baik kesalahan penghitungan maupun kecurangan. Dengan sistem digital, semua transaksi tercatat dengan jelas, meminimalisir potensi manipulasi dan meningkatkan keamanan.
Laporan Global dan Kebijakan China
Namun demikian, fenomena "mendadak cashless" ini perlu kita lihat dalam kacamata yang lebih luas. Secara global, peta pembayaran dunia memang sedang bergeser drastis. Laporan World Payments Report menunjukkan negara-negara Nordik seperti Norwegia saat ini memimpin sebagai wilayah paling cashless di dunia dengan penggunaan tunai di bawah 3 persen. Di belahan dunia lain, India sukses merevolusi ekonomi pedesaannya melalui sistem UPI (Unified Payments Interface) yang memungkinkan transaksi real-time secara masif.
Namun, ambisi menjadi masyarakat non-tunai ini tidak selalu berjalan mulus. China, yang sering dijadikan kiblat ekosistem digital melalui dominasi Alipay dan WeChat Pay, justru memberikan pelajaran berharga. Berdasarkan laporan resmi bank sentral China, People's Bank of China (PBOC), pemerintah China kini mulai mengeluarkan aturan tegas untuk menghukum toko, restoran, hingga layanan parkir yang menolak uang tunai.
Inklusi di Era Digital
Indonesia seharusnya belajar dari sana bahwa bukan berarti para pelaku usaha bisa bertindak sewenang-wenang dengan menolak pembayaran dengan Rupiah secara tunai. Mereka harus menyadari karena berbagai alasan, terutama dalam hal kecakapan digital, tak semua orang siap atau willing bertransaksi secara cashless.
Sesuatu yang disadari benar oleh Bank Indonesia selaku pengampu sistem pembayaran di Negara ini. "Penggunaan rupiah untuk alat transaksi sistem pembayaran dapat menggunakan instrumen pembayaran tunai atau nontunai sesuai kenyamanan dan kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny, seperti dilansir CNNIndonesia, Minggu, 20 Desember 2025.
Tantangan Digitalisasi
Kendati arus transaksi cashless dirasa sudah sedemikian menggurita, tapi ingat 58 juta pengguna itu, hanya seperlima atau 20 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya (menurut proyeksi BPS) sekitar 280 juta jiwa. Berarti mayoritas atau sekitar 80 persen dari seluruh penduduk Indonesia masih belum terpapar cashless issue, bahkan masih banyak juga pelaku usaha, terutama dari kalangan UMKM dan usaha mikro, yang menolak menggunakan QRIS atau sistem pembayaran non-tunai lainnya.
Salah satu kendala utama adalah kurangnya pemahaman dan keterampilan dalam menggunakan teknologi. Bagi sebagian pedagang, terutama yang berusia lanjut atau kurang melek teknologi, mengoperasikan aplikasi pembayaran digital terasa rumit dan membingungkan. Mereka lebih nyaman dengan cara lama, menerima uang tunai, dan menghitung manual. Proses adaptasi terhadap teknologi baru membutuhkan waktu dan kesabaran, yang terkadang dirasa merepotkan bagi mereka.
Di tengah arus digitalisasi yang deras, terjadi tarik-menarik antara dua kubu, mereka yang terlena dengan kemudahan cashless payment dan mereka yang tetap setia dengan uang tunai. Coffee shop dan gerai Roti'O yang menolak uang tunai dan pedagang kecil yang enggan beralih ke QRIS atau sistem pembayaran digital lainnya, menjadi potret nyata dilema ini. Keduanya mencerminkan tantangan dalam menciptakan keseimbangan di era digital, di mana kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan inklusi dan keadilan.
Masyarakat ideal bukanlah masyarakat yang serba digital atau serba tunai, melainkan masyarakat yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi semua kalangan, terlepas dari preferensi dan kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan teknologi.