Jejak Vietnam di Jakarta Timur: Kenangan dan Gapura


JAKARTA – Memasuki area bekas Kampung Vietnam melalui gang sempit yang diapit permukiman padat, pengunjung langsung disambut sebuah gapura tua. Atapnya bolong-bolong, kayunya lapuk dimakan usia, sementara dua pilar beton di bawahnya dipenuhi coretan serta bekas vandalisme. Meski nyaris roboh, struktur itu tetap berdiri, seperti memaksa keberadaannya agar tidak sepenuhnya dilupakan.

Di balik gapura, terbentang aliran sungai kecil yang membelah kawasan. Airnya bergerak pelan membawa sisa-sisa sampah rumah tangga. Di sisinya, talud beton yang baru dibangun mempertegas bahwa kawasan ini sedang menjalani transformasi besar dari kampung mati yang lama terbengkalai menjadi salah satu proyek waduk pengendali banjir di Jakarta Timur.

Menurut Andra, satpam yang berjaga di pos jaga proyek, hanya sedikit peninggalan yang tersisa dari kampung yang pernah menyimpan sejarah panjang itu. “Sekarang sudah dibangun waduk besar. Sudah rapi, sudah ada tembok pembatas. Sisanya tinggal gapura sama sedikit bangunan tua. Itu pun sudah enggak dipakai apa-apa,” ujarnya.

Deretan pohon besar menaungi jalan kecil menuju sisa-sisa kampung. Daun-daunnya yang rimbun memberikan kesan teduh, namun suasana sekitar justru terasa muram. Jejak masa lalu dan masa kini bertabrakan di tempat ini—antara relik sejarah yang nyaris hilang dan pembangunan baru yang terus berjalan.

Jejak Pengungsian Vietnam

Nama Kampung Vietnam muncul sejak gelombang pengungsian warga Vietnam pada awal 1970-an ketika Perang Vietnam mencapai puncaknya. Ribuan warga Vietnam mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan internasional, menempatkan sebagian dari mereka di kawasan Kramat Jati. Mereka tinggal dalam barak-barak sederhana yang dibangun pemerintah. Kehidupan berjalan seadanya sambil menunggu pemulangan atau relokasi ke negara lain.

Namun masa itu tak berlangsung lama. Setelah perang mereda, sebagian besar pengungsi dipulangkan ke Vietnam, sementara sebagian lainnya dipindahkan ke Pulau Bintan dan Australia. Barak-barak yang mereka tinggalkan kemudian perlahan kosong dan lapuk. Kawasan itu kemudian mengalami transformasi ketika pemerintah menjadikannya panti jompo pada 1980-an.

Dari Panti Jompo ke Kampung Mati

Bangunan lama diperbaiki, fasilitas ditambah, pohon ditanam, dan kawasan ditata ulang hingga menjadi salah satu panti jompo percontohan nasional. Namun sejarah kembali berubah arah. Ayuk (61), warga yang tinggal tak jauh dari kawasan itu dan menyaksikan transformasinya sejak kecil, menceritakan masa-masa kejayaannya. “Setelah orang Vietnam pergi, tempat ini sempat jadi panti jompo yang dikelola pemerintah. Dulu bagus banget, rapi, sejuk. Sampai ada 100 lebih lansia tinggal di sini,” katanya.

Pada era 1980–1990-an, panti jompo ini kerap menjadi lokasi studi banding dari berbagai daerah. Fasilitasnya lengkap—mulai dari taman yang terawat, mushola, dapur umum, hingga jogging track. Para lansia hidup dalam lingkungan yang nyaman. Namun pada 2002, banjir besar yang melanda Jakarta mengubah segalanya. “Waktu banjir besar itu, semua lansia dievakuasi. Setelah itu bangunannya pelan-pelan ditinggal sama pengurus. Karena tiap hujan pasti banjir. Lama-lama ya rusak,” ujar Ayuk.

Sejak itu, kawasan ini benar-benar menjadi kampung mati. Bangunan terbengkalai, halaman dipenuhi ilalang, dan jalanan sering tergenang air. Beberapa rumah warga masih bertahan hingga awal 2020-an, tetapi tetap menghadapi masalah banjir yang tak kunjung selesai.

Dari Kampung Mati Menjadi Waduk

Perubahan terbesar datang pada 2024, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memulai pembangunan waduk pengendali banjir. Warga yang masih tinggal direlokasi, bangunan-bangunan tua dirobohkan, dan kawasan dialihfungsikan menjadi dua hamparan kolam besar yang menggabungkan area kampung lama dan rawa-rawa di sekitarnya. Kawasan waduk kini dipenuhi bentangan air luas. Jalur beton memanjang ke tengah waduk, dan pada sore hari tampak beberapa orang memancing sambil memandangi langit mendung yang terpantul di permukaan air.

Kesaksian Warga Lain

Sarif (44), warga RW sebelah yang hampir setiap hari memancing di area waduk, mengaku menyukai suasana baru kawasan itu. “Lumayan tenang. Dulu mah kumuh, banyak nyamuk, kotor banget. Sekarang setelah dirapikan, airnya agak lebih bersih. Ikan-ikan kecil ada, kadang dapat mujair juga,” ujarnya. Ia tak mengetahui banyak tentang sejarahnya. “Tahu sekilas aja. Katanya dulu tempat orang Vietnam numpuk, terus jadi panti jompo. Tapi saya tahunya kampung mati. Zaman kecil saya kalau lewat sini ditakut-takutin, ‘jangan masuk, angker’, gitu,” kata dia.

Mengenai gapura tua yang belum dibongkar, Sarif memiliki pendapat berbeda dari warga lain yang ingin bangunan itu diruntuhkan. “Bagus juga dibiarkan. Jadi orang tahu kalau tempat ini punya sejarah, bukan cuma waduk biasa. Tapi kalau sudah rapuh banget, ya harus diperbaiki atau diamankan biar nggak bahaya,” katanya.

Daripada Terbengkalai, Waduk Pilihan Terbaik

Pendapat serupa disampaikan Yusron (52), warga yang sudah tinggal lebih dari tiga dekade di sekitar kawasan itu. Ia masih ingat masa ketika panti jompo di Kampung Vietnam menjadi salah satu kebanggaan wilayah. “Dulu tempat ini bagus banget, fasilitas lengkap. Ada taman, mushola. Banyak pejabat sering datang buat lihat panti percontohan,” ujarnya. Namun ia juga menyaksikan bagaimana kawasan itu perlahan mati setelah panti jompo dihentikan operasionalnya.

“Awal-awal masih ada petugas jaga. Tapi lama-lama pada pindah juga, karena banjir nggak bisa ditahan. Tahun-tahun setelah itu, tempat ini mulai benar-benar jadi kampung mati,” tutur Yusron. Menurutnya, pembangunan waduk adalah jalan keluar paling masuk akal. “Saya pikir ini pilihan terbaik. Daripada dibiarkan terbengkalai. Setidaknya sekarang bermanfaat buat pengendalian banjir. Sejarahnya masih ada sedikit tersisa, walau cuma gapura dan pondasi bangunan,” ucapnya.

Antara Identitas dan Prioritas Kota

Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai hilangnya jejak Kampung Vietnam merupakan bagian dari dinamika umum perkembangan Jakarta. Menurut dia, banyak kampung di Jakarta yang kini hanya menyisakan nama, tanpa lagi memiliki karakter budaya, bangunan khas, atau jejak sejarah yang kuat. “Kalau ada Kampung Vietnam, tapi jejak sejarahnya itu tidak berkontribusi besar kepada sejarah perkembangan kota, ya mungkin dia hanya bersifat transit saja. Semacam shelter, semacam pengungsian sementara,” ujarnya.

Ia menegaskan, dalam konteks Jakarta yang kian padat dan menghadapi persoalan banjir, pemerintah harus menetapkan prioritas berdasarkan kebutuhan yang lebih mendesak. “Pengendalian banjir lebih urgent karena kita ada keterbatasan lahan. Kalau melihat kepentingan yang lebih besar, ya kita butuh waduk,” kata dia. Ia juga menjelaskan bahwa fenomena hilangnya identitas kampung bukan hal baru. “Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Bahar, banyak nama kampung di Jakarta itu sekarang cuma penanda. Identitasnya sudah hilang. Penduduknya heterogen, bangunannya berubah, tekanannya besar,” jelasnya.

Menurut dia, sejarah sebuah kawasan membutuhkan bukti fisik agar dapat terus diwariskan. “Sejarah harus dibuktikan dengan situs, tanda, atau penanda. Kalau tidak ada itu semua, ya yang tersisa hanya cerita,” tutur Yayat. Untuk Kampung Vietnam, ia menilai memberi penanda khusus di sekitar waduk bisa menjadi solusi agar sejarahnya tidak hilang sepenuhnya. “Bisa saja waduk itu dinamai Waduk Kampung Vietnam. Atau ada tugu, atau satu bangunan kecil yang dipertahankan,” ujarnya.

Kondisi Kampung yang Jadi Waduk

Hari ini, Kampung Vietnam tak lagi memiliki wujud seperti dahulu. Tidak ada barak pengungsian, tidak ada panti jompo, dan tidak ada rumah warga yang pernah menghidupkan kawasan itu. Yang tersisa hanyalah gapura tua dengan atap bolong, dinding penuh grafiti, satu rumah kosong, dan fondasi bangunan yang tertimbun rumput liar.

Namun bagi sebagian warga sekitar, peninggalan itu cukup untuk mengingatkan bahwa tempat ini pernah menjadi bagian dari sejarah besar konflik internasional dan perjalanan kota Jakarta. Setiap orang yang melintasi gapura tua kini melihat dua hal yang kontras: waduk baru yang tenang—simbol modernisasi dan kebutuhan kota—serta sisa sejarah yang berdiri rapuh di tengah perubahan yang tak terhindarkan. Kampung Vietnam telah berubah total, tetapi kenangannya tetap melekat pada gapura tua yang menantang waktu. Ia berdiri bukan sebagai bangunan megah, melainkan sebagai pengingat bahwa tempat-tempat kecil sekalipun memiliki kisah panjang yang layak dikenang.

0 Response to "Jejak Vietnam di Jakarta Timur: Kenangan dan Gapura"

Posting Komentar