Menteri Luar Negeri dalam Tradisi Diplomasi Indonesia

Erlita Irmania
By -
0

Perjalanan Menuju Dunia Diplomasi

Menjadi diplomat adalah salah satu cita-cita masa muda saya. Isu-isu internasional selalu menarik perhatian, tetapi daya tarik terbesarnya justru terletak pada para pelakunya. Sejak remaja, melalui layar kaca dan pemberitaan media, saya mengikuti bagaimana Menteri Luar Negeri Adam Malik atau Mochtar Kusumaatmadja berbicara di berbagai podium. Mereka tidak hanya menjelaskan isu ringan dan berat, tetapi melakukannya dengan artikulasi jernih, rasa percaya diri, dan wibawa yang membuat Indonesia terasa hadir di berbagai pentas diplomasi dunia.

Keduanya memberi kesan kuat bahwa diplomasi bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan seni bernegosiasi dan berbicara atas nama bangsa. Di lingkungan diplomatik internasional, Adam Malik Batubara dijuluki Si Kancil. Bukan karena tubuhnya yang mungil, melainkan karena kecerdikannya dalam memberi jawaban dan menyiasati persoalan serumit apapun. Mantan Wakil Presiden ke-3 dikenal sebagai diplomat ulung karena memiliki sense of humor yang tinggi dan terbiasa berbicara ceplas-ceplos, tetapi tetap terukur.

Dalam forum-forum internasional, ia dengan kalem, seraya menyunggingkan senyum, kerap berujar, “Everything can be arranged”, alias “Semua bisa diatur!” Sementara Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, yang melanjutkan kiprah Adam Malik, (1978–1988) memberi warna lain bagi dunia diplomasi. Dalam pemahamannya, citra bangsa tidak hanya dibangun melalui teks perjanjian dan pidato resmi, melainkan juga melalui seni dan budaya, termasuk kuliner.

Ketertarikannya pada dunia masak-memasak yang tumbuh sejak masa studi di Yale University melahirkan diplomasi kuliner sebagai dimensi lain dari soft power. Mochtar dikenal piawai membuat martabak telur. Dalam buku Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusumaatmadja, putrinya, Armida Salsiah Alisyahbana, menuturkan bahwa sang ayah bermimpi masakan Indonesia suatu hari dapat mendunia seperti kuliner Jepang atau Italia. “Makanan Indonesia perlu dikemas dengan sentuhan estetika dan penyesuaian rasa agar dapat diterima lidah internasional,” tulis Armida, mengutip pesan sang ayah.

Menjelang akhir masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri, imbuh Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi, Mochtar mendirikan Restoran Nusantara Indonesia di New York. “Ia juga membentuk Nusantara Chamber Orchestra,” ungkap Retno dalam seminar Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Prof Mochtar Kusumaatmadja, 24 Mei 2023.

Mengikuti Jejak Diplomat

Selepas meraih gelar sarjana strata satu pada awal 1990-an, saya mencoba mengikuti seleksi diplomat selama tiga tahun berturut-turut dan semua gagal pada tahapan seleksi akhir. Meski demikian, sejatinya saya berkesempatan menjadi bagian dari keluarga Kementerian Luar Negeri (Kemlu), meski dari pinggiran. Awal 1990-an, ketika menjadi jurnalis, saya kerap mendapat kesempatan meliput di Kementerian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat, yang saat itu dipimpin Menlu Ali Alatas. Ia diplomat karier sejati, yang diminta Wakil Presiden Adam Malik untuk menjadi Kepala Sekretariatnya.

Ali Alatas memahami betul seluk-beluk birokrasi kementerian, sekaligus menguasai medan diplomasi bilateral dan multilateral. Pak Ali memiliki pembawaan khas: tenang, nyaris tanpa gestur berlebih, berwibawa tanpa perlu meninggikan suara. Namun, ketenangan itu tidak menciptakan jarak dan sikap yang dingin. Dalam interaksi dengan kami para jurnalis, ia tetap terasa hangat dan terbuka, bahkan bertanya kritis seolah menguji kedalaman pengetahuan sang jurnalis.

Pengalaman itu semakin terasa ketika Media Indonesia menugaskan saya berkantor di Auckland, Selandia Baru, sebagai koresponden kawasan Pasifik Selatan. Di sana saya melihat bagaimana nama Ali Alatas dihormati, bukan hanya oleh kalangan jurnalis, tetapi juga oleh para pejabat di kawasan tersebut. Ia tidak banyak berbicara, tetapi ketika berbicara, setiap kata dipilih dengan presisi. Dalam dunia diplomasi internasional, gaya semacam ini membentuk reputasi penting: credible interlocutor—mitra dialog yang dapat dipercaya, terutama dalam konflik yang menuntut kesabaran dan netralitas.

Perubahan Wajah Diplomasi Indonesia

Memasuki era reformasi, wajah diplomasi Indonesia pun berubah. Kemlu dipimpin diplomat non-karier, Alwi Shihab, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Saat bekerja di SCTV (program berita Liputan 6), sekalipun lebih banyak berinteraksi dengan sang Presiden yang egaliter di Istana, sosok Pak Alwi saya nilai sangat terbuka. Maklum, ia sejatinya seorang akademisi, cendekiawan Muslim, dan tokoh dialog antaragama yang lama berkarier di Amerika Serikat. Jejaringnya yang luas sangat membantu Indonesia yang tengah menghadapi krisis kepercayaan global.

Saya teringat dengan lobi strategisnya di negeri Paman Sam. Pak Alwi sanggup menembus protokoler Gedung Putih yang kaku dalam waktu singkat guna memenuhi permintaan Presiden Gus Dur yang ingin bersilaturahmi dengan Presiden Bill Clinton di Oval Room Gedung Putih di Washington DC. Saya beruntung bisa menyaksikan pertemuan kedua kepala negara tersebut di masa lalu. Sejumlah isu sensitif—seperti Timor Timur pascareferendum, konflik komunal di Maluku dan Poso, serta tuduhan pelanggaran HAM oleh perwira tinggi militer Indonesia—dijawab Alwi dengan lugas.

Saya tahu gaya seperti ini sangat disukai media internasional yang kala itu mencari kejelasan dan keterbukaan dari pejabat Indonesia. Namun secara bisik-bisik, muncul kegelisahan dari kalangan internal Kemlu dan para diplomat senior. Gaya Alwi kerap dinilai terlalu terbuka dan ‘kurang disiplin’ secara institusional. Ya, protokoler adalah karakteristik fundamental dan sangat penting bagi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) karena mengatur seluruh aspek hubungan diplomatik, acara kenegaraan/resmi, serta pelayanan publik terkait WNI di luar negeri, yang menjadi tugas utama Kemlu, mencakup tata tempat, tata upacara, tata warkat, dan wibawa pimpinan negara.

Kritik dan Perubahan Era Terkini

Sebaliknya, dalam beberapa hari terakhir, muncul kritik terbuka dari mantan Wakil Menteri Luar Negeri di era Presiden SBY, yaitu Dr Dino Patti Djalal terhadap Menteri Luar Negeri saat ini Sugiono. Kritik mantan Dubes RI di Amerika Serikat itu di antarnya tentang perlunya Menlu lebih banyak meluangkan waktu ke internalnya. Selain itu, putra kedua Pakar Hukum Laut Internasional Prof Hasjim Djalal yang juga mantan diplomat itu juga mengungkapkan laporan yang dia dapat bahwa duta besar mengalami penurunan kinerja karena pemotongan anggaran, demoralisasi, dan tidak terdorong berinisiatif.

Dia juga mendapat kabar bahwa banyak duta besar yang sulit menemui Menlu Sugiono saat duta besar itu pulang ke Indonesia. Bagi sebagian orang, kritik itu terasa keras. Namun, dalam dunia diplomasi, hal tersebut merupakan bentuk elite correction—alarm dini agar Indonesia tidak tergelincir dari jalur yang telah dibangun selama kurun waktu puluhan tahun.

Zaman dan tantangan memang berubah. Strategi diplomasi tentu harus disesuaikan. Pemanfaatan media sosial menjadi keniscayaan. Meski demikian, hal-hal yang bersifat konvensional atau kerap disebut tradisional tetap tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Sebab, dalam diplomasi, kontinuitas sering kali lebih penting ketimbang gebrakan sehebat apapun. Perubahan gaya boleh terjadi, tetapi perubahan arah harus dijaga dengan sangat hati-hati.

Kunci Utama dalam Diplomasi

Kunci utama yang perlu dikedepankan adalah komunikasi yang artikulatif, baik ke dalam maupun ke luar. Karena itu, kritik Dino perlu direspons dengan langkah-langkah korektif, bukan defensif. Pembelaan yang berlebihan justru berisiko akan mengaburkan substansi. Prof Mochtar Kusumaatmadja pernah menyampaikan nasihat. Sebagai orang berlatar Sunda, ia pernah mengutip figur Si Kabayan—tokoh yang sering dianggap tolol, gemar berkelakar, dan bernasib malang, tetapi justru selalu benar.

“Karena itu, kalaupun (dirinya sebagai Menlu) kementeriannya dianggap rusak dan tolol, itu tak perlu ditanggapi dengan kecil hati,” katanya, seperti diberitakan Kompas, 12 September 1982.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default