Kunci Pencapaian Target Produksi Migas di Lapangan Matang

Erlita Irmania
By -
0

Peningkatan Target Produksi Minyak dan Gas Bumi

Pemerintah telah menetapkan target lifting minyak sebesar 610.000 barel per hari (bph) pada 2026 dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka ini meningkat dari target lifting minyak pada APBN 2025 yang sebesar 605.000 bph. Peningkatan target tersebut didasari oleh optimisme pemerintah, di mana realisasi lifting minyak pada November 2025 diklaim telah mencapai level 610.000 bph.

Namun, target peningkatan produksi migas yang telah ditetapkan pemerintah pada dasarnya tidak mudah untuk dicapai, mengingat sebagian besar lapangan existing yang menjadi andalan sudah dalam kondisi mature. Di sisi lain, ketergantungan terhadap lapangan mature menjadi salah satu penyebab menurunnya produksi migas nasional selama periode 2014–2024. Secara rata-rata, produksi minyak selama periode tersebut turun sebesar 3,42% per tahun, sementara produksi gas turun sekitar 1,72% per tahun.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menyatakan bahwa penyempurnaan kebijakan fiskal hulu migas menjadi kunci utama untuk dapat mencapai target produksi migas nasional yang sebagian besar telah berada pada kondisi mature. Perbaikan kebijakan fiskal menjadi faktor penentu utama untuk meningkatkan investasi hulu migas nasional. Laporan IHS Markit (S&P Global) pada Juni 2025 mencatat bahwa overall attractiveness iklim investasi hulu migas Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 14 negara di Asia Pasifik.

Dari empat indikator penilaian, yaitu legal and contractual, fiscal systems, oil and gas risk, serta activity and success, Indonesia tercatat memperoleh rating rendah pada aspek fiscal systems (5,11), dan legal and contractual (5,34). Sementara itu, dua indikator lainnya yaitu oil and gas risk dan activity and success mendapatkan rating masing-masing sebesar 5,53 dan 6,03.

Menurut Komaidi, munculnya permasalahan pada aspek fiskal di sektor hulu migas nasional akibat hilangnya elemen fundamental dari regulatory framework pada sektor hulu migas yaitu penerapan prinsip assume and discharge. Sebagai landasan hukum utama dalam kegiatan hulu migas, imbuhnya, Undang-Undang Migas No. 22/2001 tidak lagi menerapkan asas lex specialis (assume and discharge).

“Melalui Pasal 31, UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku,” kata Komaidi dalam sebuah diskusi, Kamis (4/12/2025).

Dengan kondisi saat ini, ReforMiner menilai perlu adanya penyempurnaan regulasi, khususnya pada aspek fiskal, agar kembali selaras dengan konsep kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dan dilakukan secara menyeluruh, baik pada level praktis maupun pada aspek-aspek fundamental.

Pada tataran praktikal, perbaikan dapat dilakukan melalui penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Cost Recovery, yang mencakup pengembalian prinsip assume and discharge untuk menjamin kepastian atas pajak tidak langsung; revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017 dengan menyederhanakan proses pengajuan insentif perpajakan tanpa persyaratan keekonomian yang berlapis; serta penegasan ketentuan fiskal terkait PBB, PPN, dan PPNBM melalui regulasi yang lebih konsisten dan otomatis. Penyusunan pedoman insentif berbasis parameter objektif (marginal field, frontier, mature field) juga diperlukan.

Sejalan dengan itu, penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Gross Split juga diperlukan di antaranya melalui revisi PP 53/2017 dengan memperluas pembebasan pajak tidak langsung hingga tahap eksploitasi; pemberlakuan mekanisme pembebasan otomatis, khususnya untuk PPN/PPNBM; penyediaan fasilitas perpajakan tanpa persyaratan surat keterangan fasilitas perpajakan (SKFP); serta pengurangan PBB 100% untuk seluruh tahapan operasi secara otomatis.

Komaidi menegaskan, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme transisi fiskal terkait dengan perubahan skema kontrak dan pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), dengan memastikan kompensasi kerugian tetap berlaku dalam skema baru; pemberlakuan surut; penyediaan formula transisi untuk mencegah lonjakan beban pajak dan menghindari peningkatan Direct Tax Loss (DTL); serta penegasan bahwa biaya komitmen pasti (K3P) dapat diakui kembali sebagai biaya operasi dalam skema Cost Recovery.

Reformasi Fiskal dalam Kegiatan Hulu Migas

Dalam tataran fundamental, penyelesaian segera atas proses revisi undang-undang migas yang ada menjadi kebutuhan mendesak. Dua prinsip utama yaitu assume and discharge dan lex specialis, perlu ditegaskan kembali sebagai landasan fiskal dalam pengusahaan PSC.

Prinsip assume and discharge (A/D) menetapkan bahwa kontraktor hanya menanggung pajak langsung, sementara pajak tidak langsung dibebaskan dan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian, porsi bagi hasil antara negara dan kontraktor merupakan penerimaan bersih karena seluruh komponen pajak telah diperhitungkan melalui mekanisme ini.

Reformasi migas untuk menjaga stabilitas..
Reformasi Fiskal dalam Kegiatan Hulu Migas

Adapun, penerapan azas lex specialis diperlukan untuk menegaskan bahwa ketentuan perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan UU Migas secara khusus. Penerapan kedua asas ini di dalam sistem perpajakan hulu migas akan memberikan kepastian hukum lebih baik di dalam aspek fiskal pelaksanaan kontrak kerja sama.

Sebagai gambaran, Brasil dan Malaysia merupakan negara yang berhasil melakukan reformasi fiskal untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan produksi migas, khususnya pada lapangan-lapangan yang telah memasuki fase mature. Brasil, misalnya, menerapkan sejumlah insentif seperti penurunan royalti hingga 5% untuk lapangan mature, percepatan depresiasi, tax deductibility untuk proyek EOR, serta mekanisme rebid untuk lapangan mature.

“Kebijakan tersebut mendorong Brasil menjadi salah satu dari lima produsen migas terbesar dunia pada 2023, dengan pertumbuhan produksi minyak rata-rata 3,8% per tahun selama 2013–2023,” kata Komaidi.

Malaysia juga termasuk negara yang berhasil menjaga tingkat produksi minyaknya di atas 500.000 barel per hari sejak tahun 2000 lalu. Selama dua dekade terakhir, Kementerian Energi Malaysia terpantau terus melakukan inovasi melalui reformasi kebijakan untuk meningkatkan investasi dan produksi migasnya. Sejak 2008, Malaysia menerapkan sistem PSC yang lebih beragam dan disesuaikan dengan karakteristik setiap lapangan.

Untuk lapangan mature, Pemerintah Malaysia menyediakan beberapa jenis kontrak khusus seperti skema Risk Service Contracts (RSC) yang menawarkan insentif berupa pembebasan dan pengurangan tarif pajak. Sementara itu, untuk lapangan mature dengan sumber daya kurang dari 30 juta barel, Malaysia menerapkan PSC Late Life Assets (LLA), yang memungkinkan biddable item untuk porsi kontraktor serta memberikan kepastian pengembalian investasi melalui persentase hasil produksi yang tetap.

Pada lapangan berukuran kecil—kurang dari 15 juta barel minyak atau 200 BSCF gas—diterapkan PSC Small Field Assets (SFA), yang juga menggunakan mekanisme bidding untuk menentukan bagian negara dan kontraktor.

Belajar dari sejumlah negara, termasuk Brasil dan Malaysia, Komaidi menyatakan, penyempurnaan kebijakan fiskal terutama melalui pemberian insentif fiskal menjadi kunci dalam meningkatkan atau bahkan sekadar untuk dapat mempertahankan tingkat produksi migas pada lapangan migas mature.

Untuk dapat mempertahankan produksi migas pada mature field yang telah mengalami penurunan keekonomian seringkali pilihannya hanya dengan memberikan insentif fiskal agar keekonomian lapangan migas yang diusahakan dapat memenuhi batas minimal toleransi bisnis terpenuhi atau tidak ada produksi lagi.

Empat Usulan untuk Revisi UU Migas

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyebutkan, setidaknya ada empat usulan untuk revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Hal itu dia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Senin (17/11/2025). Pertamina memandang RUU Migas bukan sekadar revisi aturan, melainkan lokomotif transformasi energi nasional.

Menurut Simon, RUU Migas dapat menjadi lokomotif untuk meningkatkan cadangan migas dan mendorong Indonesia kembali mencapai swasembada energi. “RUU Migas adalah solusi strategis yang bisa memberikan hasil terbaik, cepat, dan selamat. Ini bukan hanya tentang industri, tetapi tentang masa depan bangsa,” ujarnya.

Simon lantas menyampaikan empat fokus aspirasi utama yang dinilai penting untuk diakomodasi dalam RUU Migas.

Pertama, kelembagaan hulu migas. Dia menyebut, Pertamina mendorong pembentukan atau penunjukan BUMN yang bertugas menjalankan konsesi pengelolaan migas sesuai amanat Mahkamah Konstitusi. Badan ini diharapkan menjadi pihak yang melakukan kontrak kerja sama dengan badan usaha.

“Negara dapat membentuk atau menunjuk badan usaha milik negara yang diberikan konsesi untuk mengelola Migas yang akan melakukan kontrak kerja sama dengan badan usaha,” tutur Simon.

Kedua, perencanaan hulu-hilir migas. Simon menyebut, RUU Migas harus memuat skema perencanaan setara Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di sektor kelistrikan. Dia mengatakan, RUU Migas harus memasukkan Rencana Umum Migas Nasional (RUMGN) dan Rencana Umum Pengembangan Migas (RUPMG) sebagai payung hukum investasi berbasis kebijakan energi nasional.

Ketiga, kepastian fiskal dan perpajakan. Simon menyarankan skema fiskal yang lebih adaptif terhadap keekonomian wilayah kerja, terutama untuk deep water, enhanced oil recovery, lapangan tua, migas non konvensional, dan proyek dekarbonisasi. Selain itu, Simon menyoroti pentingnya penerapan konsep ring fencing.

Keempat, pembentukan Petroleum Fund. Pertamina mendorong adanya Petroleum Fund yang dikelola BUMN Khusus migas. Menurut Simon, dana ini difokuskan untuk pendanaan kegiatan eksplorasi, pembangunan infrastruktur, serta program dekarbonisasi.

“Berikut yang kami maksudkan adalah beberapa aspirasi dari kami dan tentunya kami juga mohon dukungan serta masukan dari pimpinan serta anggota Komisi XII,” imbuh Simon.

Lebih lanjut, Simon menegaskan bahwa RUU Migas memiliki posisi strategis untuk mempercepat pencapaian swasembada energi sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto. Simon menilai saat ini terjadi kesenjangan yang kian melebar antara produksi dan konsumsi energi nasional. Konsumsi terus tumbuh, sementara produksi migas domestik cenderung menurun akibat natural declining. Dia menyebut, kondisi itu memaksa Indonesia menutup kebutuhan melalui impor, di tengah investasi hulu migas yang justru semakin melemah. “Pertumbuhan konsumsi lebih besar daripada produksi kita, sehingga gap harus ditutup dengan impor. Padahal investasi hulu sebagai motor penggerak terus turun. Tanpa regulasi kuat, daya tarik investasi semakin melemah dan ketahanan energi terancam,” jelas Simon.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default