
Seminar Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana menyelenggarakan seminar internasional yang membahas kasus yang menimpa Ali Yasmin serta dampak ekonomi terhadap daerah pedesaan. Kegiatan ini berlangsung di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada pukul 09.00 Wita. Acara ini dibuka langsung oleh Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Dr. Paulina Y. Amtiran SE., MM.
Seminar ini menghadirkan dua pembicara utama, yakni Arabella Jorgensen-Hull, seorang pengacara dari Ken Cush Canberra Australia, dan Dominikus K.T. Aman, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana. Peserta seminar terdiri dari mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, khususnya mahasiswa Prodi Ilmu Manajemen.
Pembahasan Kasus Ali Yasmin
Pembicara pertama, Arabella Jorgensen-Hull, memberikan materi tentang kasus yang menimpa Ali Yasmin, seorang nelayan asal Nusa Tenggara Timur yang dituduh menyelundupkan para pencari suaka dari Afghanistan ke Australia. Dalam presentasinya, Arabella menjelaskan secara detail perjalanan kasus ini, termasuk aspek hak asasi manusia dan proses hukum yang dilalui.
Arabella juga menyampaikan bahwa pemerintah Australia telah melanggar hak asasi anak-anak dalam kasus ini. Ia mengungkapkan bahwa kasus ini sudah diurus sejak tahun 2019, dengan korban yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk daerah pesisir pantai seperti Kupang.
Ali Yasmin, yang saat itu berusia 14 tahun, ditangkap setelah kapal yang ia tumpangi ditangkap oleh petugas Australia. Ia kemudian diproses sebagai orang dewasa meskipun masih anak-anak. Arabella menyatakan bahwa proses penahanan ini melanggar hukum internasional, karena anak-anak seharusnya diperlakukan secara khusus dalam sistem hukum.
Penanganan Hukum dan Kompensasi
Setelah komisi hak asasi Australia melakukan investigasi, ditemukan adanya pelanggaran berat terhadap Ali Yasmin dan anak-anak lainnya. Gugatan "class action" yang diajukan oleh Ali Yasmin akhirnya dimenangkan, dan Pemerintah Australia harus membayar kompensasi sebesar AUD 27,5 miliar (setara 270 miliar rupiah) kepada 260 anak Indonesia yang menjadi korban salah tangkap.
Namun, pemerintah Australia tidak secara formal meminta maaf atau mengakui pelanggaran tersebut. Arabella menjelaskan bahwa tugasnya adalah menyalurkan uang kompensasi ini, yang merupakan tantangan besar karena banyak korban tinggal di daerah pedesaan dengan latar belakang pendidikan minim.
Dampak Ekonomi dan Pengelolaan Kompensasi
Materi kedua disampaikan oleh Dominikus K.T. Aman, yang menjelaskan dampak ekonomi dari penerimaan kompensasi. Menurutnya, kompensasi ini memiliki dampak positif dan negatif, tergantung pada bagaimana uang tersebut dikelola. Nominal terkecil yang diterima adalah 50 juta rupiah, sedangkan nominal terbesar mencapai 3 miliar rupiah.
Dominikus menyampaikan bahwa sejumlah anak korban menggunakan uang kompensasi untuk membangun rumah, memberangkatkan orang tua dan istri ke haji, atau membuka usaha seperti sewa sound system. Ia juga memberikan saran agar uang tersebut dikelola dengan baik untuk meningkatkan penghasilan.
Sesi Tanya Jawab
Setelah presentasi selesai, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Yosefina K.I.D.D. Dhae., ST. M.IT. Peserta sangat antusias dalam mengikuti sesi ini, yang memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertanya lebih lanjut tentang topik yang dibahas.