Tak Paham Aplikasi hingga Soal Rezeki, Mengapa Penumpang Masih Pilih Opang


JAKARTA, Erfa News—
Di tengah penetrasi transportasi digital yang semakin masif, sebagian warga Jakarta masih setia menggunakan ojek pangkalan (opang). Pilihan ini bukan sekadar soal tarif atau kebiasaan lama, tetapi mencerminkan dinamika sosial kota, relasi ekonomi, serta ketimpangan dalam adopsi teknologi yang tidak merata. Meski aplikasi transportasi online telah mengubah pola mobilitas, sebagian masyarakat tetap mengandalkan interaksi langsung, negosiasi, serta kedekatan yang ditawarkan layanan konvensional. Alasannya beragam, yaitu kenyamanan, kecepatan, relasi sosial, hingga kesulitan menggunakan teknologi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa keberadaan opang bukan hanya tentang bertahan di tengah arus digitalisasi, tetapi menjadi bagian dari “ekosistem sosial” yang tidak sepenuhnya tergantikan.

Opang sebagai opsi praktis dan cepat

Di Stasiun Gondangdia, Bambang (45), pekerja kantoran yang hampir setiap hari turun di lokasi tersebut, bergerak cepat sambil menutupi kepala dengan tas kerjanya. “Kalau dari kantor ke stasiun, saya hampir selalu naik ojek pangkalan. Sudah dari dulu begitu,” kata Bambang. Baginya, keunggulan opang terletak pada kecepatan dan ketersediaan. Tidak perlu menunggu, tidak ada risiko pembatalan, dan perjalanan tidak berputar-putar seperti yang kadang terjadi pada ojol. “Turun dari stasiun langsung ada mereka nunggu. Enggak perlu nunggu driver muter atau cancel,” ujarnya. Untuk perjalanan pendek, Bambang menganggap opang lebih efisien karena tidak perlu membuka aplikasi. Situasi ini semakin terlihat ketika hujan turun. Teguh (42), opang di Gondangdia sejak 2015, menyebut cuaca buruk justru menjadi “prime time”. “Kalau hujan begini biasanya lumayan ramai. Banyak yang enggak mau nunggu online,” ucapnya sambil menuntun penumpang ke motornya.

Hanya sekitar 20 meter dari lokasi opang, para pengemudi ojol duduk menunggu order di zona tidak tertulis yang telah disepakati. Sekilas tampak tenang, namun dinamika perebutan ruang kerap masih terjadi. Dalam kondisi tertentu—khususnya ketika penumpang terburu-buru atau cuaca ekstrem—opang tetap unggul dalam aspek kecepatan dan fleksibilitas.

Ketika teknologi tidak ramah untuk semua

Tidak semua orang merasa nyaman menggunakan aplikasi. Nurhayati (59), warga yang rutin ke Pasar Senen, mengaku kesulitan memesan ojol. “Gojek, online saya enggak ngerti cara pesannya,” ujarnya. Anaknya pernah mengajari, tetapi langkah-langkahnya dianggap rumit—memilih titik jemput, mengecek harga, hingga menunggu driver. “Pernah pakai sekali, itu pun dibantu penjual warung. Setelah itu ya balik lagi ke opang. Lebih gampang, tinggal bilang mau ke mana,” katanya. Bagi generasi yang tidak tumbuh dengan gawai pintar, opang menjadi ruang aman. Mereka mengenal pengemudi, prosesnya sederhana, dan relasinya terasa manusiawi. “Kalau bawaan banyak juga dibantuin. Enggak usah ngomong lama-lama,” tuturnya.

Faktor non-teknis ini memperlihatkan adopsi teknologi tidak merata, dan keberadaan opang menjembatani mereka yang berada di “daerah abu-abu” antara ingin mobilitas cepat, tetapi belum siap dengan interaksi digital.

Relasi sosial yang tak tergantikan aplikasi

Bagi sebagian penumpang, memilih opang juga bentuk berbagi rezeki. “Mereka kan sudah lama mangkal di situ, hidupnya dari situ. Saya merasa membantu, tapi bukan kasihan. Mereka memang memberikan layanan yang cepat,” kata Bambang. Hubungan pengemudi dan pelanggan dibangun dari kedekatan bertahun-tahun. Teguh, Hasan, dan Jali memiliki jaringan pelanggan tetap yang membuat mereka tetap bertahan. Teguh menyebut beberapa pegawai kantor sudah seperti keluarga. “Ada yang tiap pagi ke Tugu Tani. Sudah hafal. Kadang kalau saya telat sedikit, mereka cari-cari,” katanya. Hasan (39), 10 tahun mangkal di Gondangdia, juga memiliki ritme serupa. “Saya antar anak sekolah dulu baru ke pangkalan. Penumpang sudah tahu jadwal saya,” ujarnya. Relasi semacam ini membuat opang menjadi bagian dari rutinitas dan identitas lingkungan sekitar. Bahkan Rahmat (48), opang di Senen yang masih mengandalkan motor tua Honda Astrea, merasa dihargai oleh penumpang setianya. “Porter stasiun juga sering nunjukin penumpang. Karena sudah kenal lama,” ungkapnya. Randi (29), opang paling muda di Senen, membangun hubungan serupa dengan warga sekitar. “Kadang ketemu di jalan, minta dianterin. Enggak ribet mesennya,” ujarnya.

Pendapatan yang terus menyusut

Meski tetap dibutuhkan, pendapatan opang kini jauh menurun. Jali, opang Juanda yang sudah sembilan tahun mangkal, mengingat masa ketika ia bisa membawa pulang Rp250.000 per hari. “Sekarang paling Rp 100.000-an. Banyak langganan pindah ke online,” katanya. Teguh juga merasakan hal serupa. Pendapatannya kini sangat bergantung pada kondisi cuaca dan keramaian kantor. Dalam kondisi ideal ketika hujan atau kantor sedang banyak acara ia bisa mendapat Rp150.000–Rp200.000. Namun hari biasa sering turun ke Rp100.000, bahkan kurang. “Sudah kalah sama online,” ujarnya. Harga fleksibel kerap menjadi masalah. Penumpang sering membandingkan dengan tarif ojol yang lebih murah dan transparan. “Kadang penumpang bilang ‘di online Rp 10.000, Mas’. Tapi ya beda, kita langsung antar, kondisi jalan kan beda,” ujar Hasan. Sementara itu, beberapa pengemudi yang pernah menjadi ojol justru kembali ke pangkalan. Santo (33), mantan ojol yang kini empat tahun menjadi opang, mengaku kelelahan bekerja di bawah sistem aplikasi. “Dulu bonus besar. Sehari bisa Rp 200.000–Rp 300.000. Tapi makin lama makin berat. Order rebutan, HP harus bagus. Pernah kena suspend gara-gara aplikasi error,” ujarnya. Di pangkalan, penghasilannya lebih stabil meski tidak besar. "Sehari bisa Rp120.000–Rp170.000. Enggak harus muter jauh,” ujarnya.

Masa depan yang masih gantung

Gesekan antara opang dan ojol memang berkurang, tetapi tidak hilang. Keduanya masih berbagi ruang tanpa regulasi yang jelas. Zona tidak tertulis di sekitar stasiun hanya bertahan selama tidak ada pihak yang melanggar. “Kami lagi dapat penumpang, ojol lewat langsung nyamber. Padahal kai nunggu dari pagi,” kata Teguh. Jali pun pernah ditegur petugas karena dianggap mengganggu jalur. “Pernah ditegur petugas karena dianggap mengganggu jalur. Jadi harus pintar-pintar cari posisi,” ujarnya. Kondisi ini terjadi karena opang berada di ruang abu-abu—bukan transportasi online, bukan angkutan resmi, tetapi tetap dibutuhkan oleh warga. Menurut Djoko, fenomena ini merupakan bagian dari dinamika dua dunia yang berjalan berdampingan. “Opang awalnya diberikan fasilitas online supaya lebih teratur. Tapi lama-lama kebablasan. Sekarang sudah kalah oleh sistem online,” ujarnya. Meski begitu, ia menilai opang belum sepenuhnya akan hilang dari peta mobilitas kota. Bagi sebagian warga yang kesulitan teknologi, tidak suka menunggu, atau sekadar ingin menjaga relasi sosial, opang tetap menjadi pilihan paling manusiawi. “Di beberapa daerah, terutama yang jaringannya belum kuat, opang masih dibutuhkan. Tapi kalau di pusat kota seperti Jakarta Pusat, jumlahnya sudah jauh berkurang,” katanya. Masa depan opang masih menggantung antara kebutuhan masyarakat yang tidak seragam, tekanan modernisasi, dan minimnya perlindungan struktural. Namun bagi mereka yang bertahan, satu hal tetap sama mengandalkan motor, relasi, dan ketekunan, sambil berharap rezeki masih datang seperti biasanya. Fenomena opang bertahan di tengah dominasi ojol merupakan cerita tentang ketimpangan digital, preferensi sosial, serta ikatan ekonomi sehari-hari. Di tengah kota yang terus bergerak menuju modernitas, opang adalah jejak masa lalu yang belum sepenuhnya ditinggalkan sebuah bukti bahwa dalam mobilitas urban, teknologi bukan satu-satunya penentu kehidupan.

0 Response to "Tak Paham Aplikasi hingga Soal Rezeki, Mengapa Penumpang Masih Pilih Opang"

Posting Komentar