Ketegangan Kepemilikan Lahan Jusuf Kalla vs Lippo (GMTD)


Sengketa Lahan 16 Hektare di Makassar: Perbedaan Pendapat dan Perspektif Hukum

Perdebatan mengenai kepemilikan lahan seluas 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan antara PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk. (GMTD) dengan PT Hadji Kalla semakin memanas. Kedua pihak saling menegaskan klaim sah atas lahan tersebut, yang berdampak pada ketegangan dalam pengembangan wilayah.

Pernyataan dari PT GMTD

Presiden Direktur PT GMTD, Ali Said, menanggapi pernyataan kuasa hukum Jusuf Kalla yang menyebut bahwa legalitas kepemilikan lahan oleh GMTD tidak memiliki dasar hukum. Ia menegaskan bahwa perusahaan miliknya memiliki dokumen hukum yang lengkap dan terbuka. Dokumen-dokumen ini mencakup sertifikat resmi dari BPN, seperti SHM 25/1970 yang kemudian diperbarui menjadi SHM 3307/1997, serta SHGB 20454/1997. Selain itu, GMTD juga memiliki pembukuan audited sebagai perusahaan terbuka.

Ali menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima empat putusan inkracht antara tahun 2002–2007 yang memenangkan GMTD. Selain itu, ada eksekusi PN Makassar tanggal 3 November 2025 dan dokumen PKKPR per tanggal 15 Oktober 2025. "Semua dokumen tersebut tidak pernah dibantah karena memang tidak bisa dibantah," ujarnya dalam keterangan resmi.

Selain itu, Ali menegaskan bahwa pernyataan kuasa hukum Jusuf Kalla yang menyebut GMTD hanya diperbolehkan mengembangkan pariwisata adalah keliru. Menurutnya, Akta Pendirian Perseroan menunjukkan bahwa tujuan usaha PT GMTD meliputi industri kepariwisataan dan bidang-bidang lainnya, termasuk investasi dan keikutsertaan modal dalam usaha lain. Hal ini memberi hak hukum bagi GMTD untuk mengembangkan real estate, kawasan hunian, dan komersial.

Tanggapan dari PT Hadji Kalla

Di sisi lain, Jusuf Kalla melalui juru bicaranya, Husain Abdullah, menanggapi tudingan GMTD dengan menyatakan bahwa dasar hukum kepemilikan lahan oleh GMTD sebenarnya tidak selaras. Menurut Husain, prinsip SK Gubernur No. 118/XI/1991 yang menjadi pegangan Lippo Group-GMTD adalah untuk keperluan wisata, bukan real estate atau jual beli tanah. Ia juga menyatakan bahwa pelaksanaan SK tersebut tidak boleh asal main rampas tanah milik rakyat, karena itu sama saja mempraktekkan Serakahnomics yang dilarang oleh Presiden Prabowo.

Husain menambahkan bahwa SK penugasan pembangunan usaha pariwisata melalui izin prinsip tahun 1991 telah dicabut dengan SK Gubernur No. 17/VI/1998 tanggal 24 Juni 1998. Perubahan tujuan tersebut tidak dapat dibenarkan karena mengubah secara prinsip dasar peruntukan yang sebelumnya diharapkan lebih menguntungkan publik.

Penjelasan dari Chief Legal & Sustainability Officer Kalla

Chief Legal & Sustainability Officer Kalla, Subhan Djaya Mappaturung, menyatakan bahwa lahan tersebut direncanakan untuk pembangunan proyek properti terintegrasi. Namun, sejak aktivitas pematangan lahan dimulai pada 27 September 2025, pihaknya mengalami banyak gangguan fisik yang diduga dilakukan oleh pihak GMTD.

Subhan juga menyatakan bahwa GMTD telah mengajukan permohonan eksekusi atas lahan tersebut, namun permohonan tersebut berdasarkan perkara yang melibatkan Manyombalang Dg Solong, bukan Kalla Group. "Kami membeli tanah ini dari orang tua Karaeng Ici', ahli waris dari Pallawaruka, bukan dari Manyombalang. Sertifikat kami tidak pernah digugat tapi tiba-tiba tanah itu mau dieksekusi," ungkap Subhan.

Tanggapan dari Karaeng Ici'

Andi Idris Mangenrurung A. Idjo (Karaeng Ici'), yang mengaku sebagai ahli waris pemilik lahan awal, menegaskan bahwa Manyombalang bukan merupakan keluarganya. Tidak ada hubungan dengan lahan tersebut dan tidak pernah menguasainya sampai sekarang. "Jadi saya menganggap bahwa putusan ini ada kaitannya dengan mafia tanah karena akan dieksekusi tanpa sepengetahuan pemilik tanah. Makanya saya juga akan lanjutkan ke proses hukum," tegasnya.

Respons Menteri ATR

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa sengketa tanah seluas 16,4 hektare di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, merupakan kasus lama yang akarnya telah berlangsung puluhan tahun sebelum masa kepemimpinannya di ATR/BPN. Ia menyatakan bahwa kasus ini merupakan produk tahun 1990an, dan kini terungkap karena sistem pertanahan sedang berbenah dan ditata ulang agar lebih transparan dan tertib.

Berdasarkan penelusuran Kementerian ATR/BPN, bidang tanah yang kini menjadi objek sengketa ternyata memiliki dua dasar hak yang berbeda. Pertama, terdapat sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996 dan berlaku hingga 24 September 2036. Kedua, di atas lahan yang sama juga terdapat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.

Menteri Nusron menjelaskan bahwa secara hukum, putusan tersebut hanya mengikat para pihak yang berperkara dan ahli warisnya, sehingga tidak otomatis berlaku terhadap pihak lain di lokasi yang sama. Namun, ia menegaskan bahwa fakta hukum juga menunjukkan PT Hadji Kalla memiliki hak atas dasar penerbitan yang berbeda.

"Secara administrasi, Kementerian ATR/BPN berkewajiban memastikan bahwa objek tanah yang disebut dalam putusan sesuai dengan data pertanahan yang ada," tegasnya. Ia menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN tidak berpihak kepada siapa pun, baik PT Hadji Kalla, PT GMTD (Lippo), Mulyono, maupun Manyombalang Dg. Solong. Fokusnya adalah penertiban administrasi dan kepastian hukum pertanahan, dengan prinsip netralitas dan keterbukaan informasi.

0 Response to "Ketegangan Kepemilikan Lahan Jusuf Kalla vs Lippo (GMTD)"

Posting Komentar